Sabtu, 06 April 2019

RUMAH KOSONG



Pagi ini cuaca terlihat sangat cerah. Kedua kakiku kini berdiri tepat di luar pagar sebuah rumah. Rumah itu terlihat sangat sederhana dengan pagar kayu yang membatasi antara rumah itu dengan rumah yang lainnya.
Suasana di pedesaan memang sangat berbeda dengan di perkotaan. Tak banyak lalu-lalang kendaraan bermotor seperti di kota. Udaranya pun terasa bersih dan sejuk. Tinggal lama di perkotaan, membuatku rindu akan suasana ini. Aku sangat menyukainya, begitu hening dan tenang.
Aku menarik napas dalam-dalam. Aroma bunga melati perlahan-lahan menyeruak masuk ke dalam hidungku. Aku sama sekali tak terkejut akan hal itu. Di halaman depan rumah itu, banyak sekali bunga melati yang tumbuh dengan suburnya. Melihat bunga-bunga itu tumbuh dengan subur, pikiranku teringat pada ketulusannya merawat mereka.
“Loh Win, kenapa masih di situ? Ayo masuk...!” tegur ibu yang berdiri di ambang pintu depan rumah itu.
“Iya, Bu.” Aku pun segera melangkahkan kedua kakiku memasuki pagar itu.
Baru berdiri di ruang depan, aku sudah terbatuk beberapa kali. Banyak sekali debu yang bertebaran di mana-mana. Sangat jelas sekali bagiku kalau rumah ini sudah lama tak dibersihkan. Aku melangkah masuk lebih dalam ke rumah itu. Kedua mataku tiba-tiba tertarik pada sebuah kamar. Entah ini cuma perasaanku atau bukan, aku merasa ada seseorang yang sedang menatapku sekarang.
Bagiku, rumah sederhana ini adalah rumah yang penuh dengan kenangan indah. Dikelilingi banyak cinta dan pelajaran akan hidup yang kudapat di dalam rumah ini. Biasanya setiap pagi tiba, nenek selalu mengambil air di bak dan pergi ke halaman depan untuk  menyiram bunga-bunga melatinya yang tumbuh di halaman depan rumah. Maka tak heran bila banyak sekali bunga melati yang tumbuh dengan suburnya di sana. Aku tak tahu kenapa nenek sangat menyukai bunga melati. Tetapi saat melihat ketulusan yang terpancar di wajahnya, hatiku menjadi tenang dan damai.
“Wina, kenapa berdiri di situ? Ayo ke sini...!” tegur nenek tiba-tiba. Tangan kanannya masih memegang gayung yang berisi air.
Tanpa berkata apapun, aku langsung melangkahkan kedua kakiku menghampiri nenek. Dengan inisiatifku sendiri, aku mengambil gayung nenek dan menciduk air di ember untuk menyiram bunga-bunga melatinya.
“Nek, kenapa nenek suka sama bunga melati? Padahal bunga yang lebih cantik kan banyak?” tanyaku sembari menyiram bunga melatinya.
Nenek tersenyum menatapku. Dengan parasnya yang lembut, ia berkata, “Bunga melati adalah bunga yang penuh kenangan bagi Nenek dan Kakek. Dahulu ketika Nenek dan Kakek masih muda, Kakekmu sering memberikan bunga melati yang masih hidup kepada Nenek. Saat itu, kehidupan Kakekmu sangat susah. Jangankan untuk beli bunga, untuk makan saja Kakekmu harus bekerja seharian. Karena saat itu bunga melati mudah didapatkan, Kakekmu memberikan bunga melati yang dicabutnya kepada Nenek. Kata Kakekmu, bunga melati adalah simbol dari cintanya yang tulus kepada Nenek.”
Aku tertawa kecil saat mendengar perkataan nenek. Aku tak pernah menyangka kalau dulunya kakek sangat romantis kepada nenek. Aku bisa melihat wajah nenek yang seketika merona karena malu. Bagiku, kakek dan nenek adalah saksi akan adanya cinta sejati. Bahkan hingga di usiaku yang 18 tahun ini, kakek dan nenek masih terlihat mesra. Seringkali kulihat mereka bergandengan tangan ketika berjalan-jalan. Walau terkadang aku juga melihat salah satu di antara mereka tersulut emosi untuk masalah-masalah yang menurutku tergolong kecil.
“Win...! Wina...!” panggil nenek dengan suara yang mengejutkan.
Panggilan nenek membuatku tersadar akan lamunan sesaatku akan mereka. Kedua mataku segera kembali fokus ke arah nenek.
“Kenapa bengong?” tanya nenek menatap aneh ke arahku.
“Nggak apa-apa kok, Nek,” jawabku spontan. “Oh ya, Kakek mana? Kok mulai tadi nggak kelihatan?”
“Mungkin Kakekmu ada di belakang. Coba aja ke sana.”
“Kalau begitu, aku temui Kakek dulu ya Nek.” Aku menyerahkan gayung kepada nenek dan pergi menghampiri kakek di halaman belakang rumah.
Kakek adalah laki-laki yang paling sabar dan paling tangguh yang pernah kukenal. Selama ini, aku tak pernah melihatnya mengeluh akan kehidupannya. Seringkali aku melihat nenek mengomel pada kakek yang terlalu banyak bekerja. Aku bisa mengerti alasan nenek mengomel kepada kakek. Nenek hanya tak mau kakek terlalu capek dan akhirnya sakit karena terlalu banyak bekerja. Tetapi begitulah kakek. Kakek tak pernah bisa diam lama-lama di rumah. Maklum saja, ketika masih muda kakek adalah seorang pekerja keras. Mungkin saja, tangan dan kakinya gatal kalau tak melakukan sesuatu.
“Kakek lagi ngapain?” tanyaku menghampiri kakek.
“Kamu mau bantu Kakek, Win?”
Aku menatap bingung ke arah kakek. Kakek lalu memintaku untuk memegang beberapa batang singkong yang telah dipotong-potongnya. Satu persatu batang singkong yang ada di tangannya mulai ditanam ke tanah.
“Kakek ngapain?” tanyaku kembali.
“Kakek lagi tanam singkong. Daripada kamu berdiri di situ, mendingan kamu bantu Kakek tanam batang singkongnya.”
“Kenapa Kakek harus repot-repot tanam singkong? Kakek kan sudah nggak muda lagi. Nanti Kakek kecapekan lagi. Kalau Kakek mau makan singkong, aku bisa belikan di warung sebentar.”
Kakek seketika menghentikan tangannya menanam singkong. Ia lalu menatap tajam ke arahku. Tatapan kakek yang seperti itu membuatku jadi takut.
“Apa aku salah? Maaf ya, Kek...! Aku sama sekali nggak bermaksud menyinggung Kakek.”
Kakek tertawa kecil melihatku. Ia lalu berkata, “Kamu sama sekali nggak salah, Win. Kakek hanya suka melihat wajahmu kalau takut seperti itu.”
Aku seketika menggembungkan kedua pipiku. Ada rasa kesal dan juga lega karena kakek ternyata sama sekali tak marah kepadaku.
“Apa kau tahu, Win? Ketika masih muda, Kakek harus bekerja keras untuk makan sehari-hari. Bila saat itu Kakek nggak punya uang, singkong yang Kakek tanamlah yang menjadi pengganjal perut. Terkadang Kakek sangat sedih melihat anak-anak jaman sekarang. Benyak dari mereka yang hanya mengandalkan kekayaan kedua orang tuanya tanpa tahu bagaimana capeknya mencari uang. Banyak dari mereka yang meminta uang untuk membeli barang-barang mewah tanpa tahu betapa lelahnya mencari uang untuk memenuhi keinginan mereka. Beda sekali dengan jaman Kakek dulu yang harus bekerja dulu baru bisa makan.”
“Maafkan aku, kek...! Aku tidak tahu kalau hidup Kakek ternyata seperti itu,” ungkapku merasa bersalah.
“Tidak apa-apa, Win. Kakek berharap kamu akan menjadi orang yang sukses, tak seperti Kakekmu ini yang harus bekerja keras hanya untuk sesuap nasi. Bila sudah sukses nanti, kamu jangan pernah sombong dan juga boros. Hiduplah sedernana...!”
Kata-kata pada saat itu adalah kata-kata terakhir yang kudengar dari kakek dan nenek. Tak lama sepeninggal kakek, nenek pun pergi meninggalkanku selama-lamanya. Sejak kepergian kakek dan nenek untuk selama-lamanya, aku tak pernah lagi mengunjungi rumah mereka. Rumah mereka dibiarkan kosong tak terurus. Tak ada alasan bagiku untuk kembali ke rumah itu.
Hari ini tepat 6 tahun, aku kembali lagi ke rumah yang penuh dengan kenangan ini. Kuharap sekarang kakek bisa melihat bahwa harapannya saat itu kepadaku telah terjadi. Aku sudah menjadi seorang gadis yang sukses seperti yang ia harapan. Terlebih lagi, aku akan segera menikah dengan seorang pria yang tulus mencintaiku dan menerimaku apa adanya. Aku berharap, di kehidupanku nanti akan seperti kakek dan nenek yang selalu setia sampai akhir hayat hidup mereka.

TAKE MY HEART BLURB Bunga mawar adalah salah satu bunga yang disukai banyak orang, terutama oleh para cewek. Selain karena bentuknya yan...