Pagi ini cuaca terlihat
sangat cerah. Kedua kakiku kini berdiri tepat di luar pagar sebuah rumah. Rumah
itu terlihat sangat sederhana dengan pagar kayu yang membatasi antara rumah itu
dengan rumah yang lainnya.
Suasana di pedesaan memang
sangat berbeda dengan di perkotaan. Tak banyak lalu-lalang kendaraan bermotor
seperti di kota. Udaranya pun terasa bersih dan sejuk. Tinggal lama di
perkotaan, membuatku rindu akan suasana ini. Aku sangat menyukainya, begitu
hening dan tenang.
Aku menarik napas
dalam-dalam. Aroma bunga melati perlahan-lahan menyeruak masuk ke dalam hidungku.
Aku sama sekali tak terkejut akan hal itu. Di halaman depan rumah itu, banyak
sekali bunga melati yang tumbuh dengan suburnya. Melihat bunga-bunga itu tumbuh
dengan subur, pikiranku teringat pada ketulusannya merawat mereka.
“Loh Win, kenapa masih di
situ? Ayo masuk...!” tegur ibu yang berdiri di ambang pintu depan rumah itu.
“Iya, Bu.” Aku pun segera
melangkahkan kedua kakiku memasuki pagar itu.
Baru berdiri di ruang depan,
aku sudah terbatuk beberapa kali. Banyak sekali debu yang bertebaran di
mana-mana. Sangat jelas sekali bagiku kalau rumah ini sudah lama tak
dibersihkan. Aku melangkah masuk lebih dalam ke rumah itu. Kedua mataku
tiba-tiba tertarik pada sebuah kamar. Entah ini cuma perasaanku atau bukan, aku
merasa ada seseorang yang sedang menatapku sekarang.
Bagiku, rumah sederhana ini
adalah rumah yang penuh dengan kenangan indah. Dikelilingi banyak cinta dan
pelajaran akan hidup yang kudapat di dalam rumah ini. Biasanya setiap pagi tiba,
nenek selalu mengambil air di bak dan pergi ke halaman depan untuk menyiram bunga-bunga melatinya yang tumbuh di
halaman depan rumah. Maka tak heran bila banyak sekali bunga melati yang tumbuh
dengan suburnya di sana. Aku tak tahu kenapa nenek sangat menyukai bunga
melati. Tetapi saat melihat ketulusan yang terpancar di wajahnya, hatiku
menjadi tenang dan damai.
“Wina, kenapa berdiri di
situ? Ayo ke sini...!” tegur nenek tiba-tiba. Tangan kanannya masih memegang
gayung yang berisi air.
Tanpa berkata apapun, aku
langsung melangkahkan kedua kakiku menghampiri nenek. Dengan inisiatifku
sendiri, aku mengambil gayung nenek dan menciduk air di ember untuk menyiram
bunga-bunga melatinya.
“Nek, kenapa nenek suka sama
bunga melati? Padahal bunga yang lebih cantik kan banyak?” tanyaku sembari
menyiram bunga melatinya.
Nenek tersenyum menatapku. Dengan
parasnya yang lembut, ia berkata, “Bunga melati adalah bunga yang penuh
kenangan bagi Nenek dan Kakek. Dahulu ketika Nenek dan Kakek masih muda,
Kakekmu sering memberikan bunga melati yang masih hidup kepada Nenek. Saat itu,
kehidupan Kakekmu sangat susah. Jangankan untuk beli bunga, untuk makan saja
Kakekmu harus bekerja seharian. Karena saat itu bunga melati mudah didapatkan,
Kakekmu memberikan bunga melati yang dicabutnya kepada Nenek. Kata Kakekmu,
bunga melati adalah simbol dari cintanya yang tulus kepada Nenek.”
Aku tertawa kecil saat
mendengar perkataan nenek. Aku tak pernah menyangka kalau dulunya kakek sangat
romantis kepada nenek. Aku bisa melihat wajah nenek yang seketika merona karena
malu. Bagiku, kakek dan nenek adalah saksi akan adanya cinta sejati. Bahkan
hingga di usiaku yang 18 tahun ini, kakek dan nenek masih terlihat mesra.
Seringkali kulihat mereka bergandengan tangan ketika berjalan-jalan. Walau
terkadang aku juga melihat salah satu di antara mereka tersulut emosi untuk
masalah-masalah yang menurutku tergolong kecil.
“Win...! Wina...!” panggil
nenek dengan suara yang mengejutkan.
Panggilan nenek membuatku
tersadar akan lamunan sesaatku akan mereka. Kedua mataku segera kembali fokus
ke arah nenek.
“Kenapa bengong?” tanya
nenek menatap aneh ke arahku.
“Nggak apa-apa kok, Nek,”
jawabku spontan. “Oh ya, Kakek mana? Kok mulai tadi nggak kelihatan?”
“Mungkin Kakekmu ada di
belakang. Coba aja ke sana.”
“Kalau begitu, aku temui
Kakek dulu ya Nek.” Aku menyerahkan gayung kepada nenek dan pergi menghampiri
kakek di halaman belakang rumah.
Kakek adalah laki-laki yang
paling sabar dan paling tangguh yang pernah kukenal. Selama ini, aku tak pernah
melihatnya mengeluh akan kehidupannya. Seringkali aku melihat nenek mengomel
pada kakek yang terlalu banyak bekerja. Aku bisa mengerti alasan nenek mengomel
kepada kakek. Nenek hanya tak mau kakek terlalu capek dan akhirnya sakit karena
terlalu banyak bekerja. Tetapi begitulah kakek. Kakek tak pernah bisa diam lama-lama
di rumah. Maklum saja, ketika masih muda kakek adalah seorang pekerja keras. Mungkin
saja, tangan dan kakinya gatal kalau tak melakukan sesuatu.
“Kakek lagi ngapain?”
tanyaku menghampiri kakek.
“Kamu mau bantu Kakek, Win?”
Aku menatap bingung ke arah
kakek. Kakek lalu memintaku untuk memegang beberapa batang singkong yang telah
dipotong-potongnya. Satu
persatu batang singkong yang ada di tangannya mulai ditanam ke tanah.
“Kakek ngapain?” tanyaku
kembali.
“Kakek lagi tanam singkong.
Daripada kamu berdiri di situ, mendingan kamu bantu Kakek tanam batang
singkongnya.”
“Kenapa
Kakek harus repot-repot tanam singkong? Kakek kan sudah nggak muda lagi. Nanti Kakek
kecapekan lagi. Kalau Kakek mau makan singkong, aku bisa belikan di warung
sebentar.”
Kakek seketika menghentikan
tangannya menanam singkong. Ia lalu menatap tajam ke arahku. Tatapan kakek yang
seperti itu membuatku jadi takut.
“Apa aku salah? Maaf ya,
Kek...! Aku sama sekali nggak bermaksud menyinggung Kakek.”
Kakek tertawa kecil
melihatku. Ia lalu berkata, “Kamu sama sekali nggak salah, Win. Kakek hanya
suka melihat wajahmu kalau takut seperti itu.”
Aku seketika menggembungkan
kedua pipiku. Ada rasa kesal dan juga lega karena kakek ternyata sama sekali tak
marah kepadaku.
“Apa kau tahu, Win? Ketika
masih muda, Kakek harus bekerja keras untuk makan sehari-hari. Bila saat itu Kakek
nggak punya uang, singkong yang Kakek tanamlah yang menjadi pengganjal perut.
Terkadang Kakek sangat sedih melihat anak-anak jaman sekarang. Benyak dari mereka
yang hanya mengandalkan kekayaan kedua orang tuanya tanpa tahu bagaimana
capeknya mencari uang. Banyak dari mereka yang meminta uang untuk membeli
barang-barang mewah tanpa tahu betapa lelahnya mencari uang untuk memenuhi
keinginan mereka. Beda sekali dengan jaman Kakek dulu yang harus bekerja dulu
baru bisa makan.”
“Maafkan aku, kek...! Aku
tidak tahu kalau hidup Kakek ternyata seperti itu,” ungkapku merasa bersalah.
“Tidak apa-apa, Win. Kakek
berharap kamu akan menjadi orang yang sukses, tak seperti Kakekmu ini yang
harus bekerja keras hanya untuk sesuap nasi. Bila sudah sukses nanti, kamu
jangan pernah sombong dan juga boros. Hiduplah sedernana...!”
Kata-kata pada saat itu
adalah kata-kata terakhir yang kudengar dari kakek dan nenek. Tak lama
sepeninggal kakek, nenek pun pergi meninggalkanku selama-lamanya. Sejak
kepergian kakek dan nenek untuk selama-lamanya, aku tak pernah lagi mengunjungi
rumah mereka. Rumah mereka dibiarkan kosong tak terurus. Tak ada alasan bagiku
untuk kembali ke rumah itu.
Hari ini tepat 6
tahun, aku kembali lagi ke rumah yang penuh dengan kenangan ini. Kuharap sekarang
kakek bisa melihat bahwa harapannya saat itu kepadaku telah terjadi. Aku sudah menjadi
seorang gadis yang sukses seperti yang ia harapan. Terlebih lagi, aku akan segera
menikah dengan seorang pria yang tulus mencintaiku dan menerimaku apa adanya.
Aku berharap, di kehidupanku nanti akan seperti kakek dan nenek yang selalu
setia sampai akhir hayat hidup mereka.