HAH! HAH! HAH!
Dengan napas yang
terengah-engah, Tiara masuk ke rumahnya dan segera mengunci pintu rumahnya.
Tiara masuk dengan perasaan lega. Ia pun kemudian menghempaskan tubuhnya di
sofa hijau yang ada di ruang tengah dan mengatur napasnya yang tak beraturan.
Sudah beberapa hari ini ada
seorang cowok mengikuti Tiara. Cowok itu selalu mengenakan jaket hitam dan ada
kacamata yang bertengger di batang hidungnya. Awalnya Tiara tak
memperdulikannya, mungkin cowok itu hanyalah orang iseng yang tak ada kerjaan.
Tapi lama kelamaan, ia merasa tak nyaman. Setiap keluar rumah, ia selalu
was-was dan mempercepat langkah kedua kakinya.
Bel sekolah tanda pulang
akhirnya berbunyi nyaring. Satu per satu penghuni kelas meninggalkan sekolah.
Tiara buru-buru memasukkan bukunya ke dalam tas. Ia melirik ke arah Wina.
Terlihat Wina juga masih memasukkan buku-bukunya. Tiara menghembuaskan napas,
mengumpulkan keberanian untuk mengajaknya pulang bersama. Sebenarnya Tiara tak
begitu akrab dengan Wina. Ia hanya sering berpapasan dengannya lalu diam begitu
saja.
“Hai, Win,” sapa Tiara
menghampiri Wina.
Wina menoleh kaget ke arah
Tiara. Tak biasanya Tiara yang pendiam menyapanya.
“Hai juga,” balasnya
tersenyum.
Tiara
merasa tak enak dengan Wina. Sudah lama sekelas dengannya, tapi baru kali ini
ia menyapanya. “Win, kamu pulang dijemput atau enggak?” tanya Tiara ragu.
“Enggak. Emang kenapa?”
jawabnya heran.
“Kamu mau nggak pulang sama
aku?”
“Ayo pulang!” Wina lalu
beranjak dari bangkunya.
Tiara merasa heran dengan Wina. Ia
tak mau ambil pusing memikirkannya, yang terpenting sekarang Wina mau
menemaninya pulang. Setidaknya keberadaan Wina bisa membantunya mengurangi rasa
takut dan cemas yang akan muncul nanti.
***
Jarak
antara sekolah dengan rumah Tiara tak terlalu jauh. Tiara lebih memilih berjalan kaki setiap berangkat dan
pulang sekolah. Wina selalu menoleh ke belakang. Melihat Wina sejak tadi
seperti itu, Tiara menggandeng tangan Wina dan mempercepat langkah kakinya.
“Tiara,
sepertinya cowok itu ngikutin kita,” bisik Wina ke arah Tiara. Wina kembali
menoleh ke belakang. Terlihat cowok berkacamata itu masih mengikuti.
“Tiara,
kenapa cepat-cepat sih jalannya? Capek tahu!” tanya Wina menatap aneh. Kedua
kakinya masih berjalan cepat mengikuti langkah Tiara.
Kedua
langkah kaki Tiara seketika berhenti. Wina pun ikut berhenti. Tiara menoleh ke belakang. Jarak cowok berkacamata
itu dengan dirinya masih sangat jauh. Tiara pun mengatur napasnya yang
terengah-engah.
“Tiara, sebenarnya ada apa
sih? Kok kita jalannya cepat-cepat begini?” tanya Wina bingung.
Tiara menghembuskan napas
panjang. “Cowok itu alasannya kenapa aku ngajak kamu pulang,” ucap Tiara takut.
“Maksudmu?”
tanya Wina semakin bingung.
“Beberapa
hari ini, cowok berkacamata itu selalu mengikutiku,” keluh Tiara, “Makanya aku ngajak kamu pulang bareng. Aku
takut pulang sendiri.”
Wina
mengangguk-angguk seperti sedang memahami sesuatu. “Jadi gara-gara cowok itu
kamu ngajakin aku pulang bareng?”
Tiara
tersenyum malu. Ia lalu menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
“Mungkin saja dia suka sama
kamu, Tiara. Bisa saja kan cowok itu pemalu seperti kamu. Mungkin dia ingin
kenalan sama kamu, tapi malu,” tebak Wina.
Tiara menoleh ke belakang.
Diliriknya jarak cowok berkacamata itu hanya beberapa langkah di belakangnya
dan Wina.
“Sayang...”
Suara cowok berkacamata itu
membuat Tiara dan Wina kaget. Tiara dan Wina saling menatap bingung. Beberapa detik
kemudian cowok berkacamata itu berdiri di hadapan mereka.
“Sayang, kenapa kamu
menghindariku? Ayo, pulang! Sebentar lagi kita akan menikah.” Cowok berkacamata
itu lalu menarik tangan Tiara dan Wina.
Tiara dan Wina sangat
ketakutan. Biasanya cowok berkacamata itu hanya mengikuti Tiara saja. Tapi sekarang
cowok berkacamata itu menarik kasar tangannya dan juga Wina. Tiara mencoba
melepaskan genggaman tangan cowok berkacamata itu, tapi genggaman tangannya
terlalu kuat. Ia pun tak kehabisan akal. Ia segera menginjak kaki cowok berkacamata
itu dan menendang keras perutnya. Cowok berkacamata itu menjerit keras. Tanpa
sadar ia melepaskan genggaman tangannya. Kesempatan ini tak di sia-siakan oleh
Tiara. Ia segera menarik tangan Wina dan berlari sekencang-kencangnya.
***
HAH! HAH! HAH!
Dengan napas
tertengah-engah, Tiara mengunci pintu rumahnya. Badannya dan Wina lalu
bersandar di balik pintu.
“Gila
banget tuh cowok! Kasar banget! Seenaknya aja narik tangan kita. Belum kenal
aja udah ngajak nikah. Pantas
aja kamu takut sama tuh orang,” seru Wina ketus. Ia kembali mengatur napasnya
yang masih terengah-engah.
Tiara merasa bersalah kepada
Wina. Kalau bukan karenanya, Wina nggak akan mengalami kejadian seperti ini. “Maafin
aku, Win! Seharusnya kamu sudah ada di rumah sekarang.”
“Nggak apa-apa kok. Nggak
usah erasa bersalah gitu dong!” Wina menepuk pelan pundak Tiara.
“Kalian berdua ngapain di
situ?” tanya ibu tiba-tiba muncul.
Tiara dan Wina sama-sama
menoleh kaget. Tiara pun memperkenalkan Wina kepada ibu. Tiara lalu
menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya dan Wina. Tiba-tiba ibu tertawa
terbahak-bahak. Tiara dan Wina sama-sama bingung melihat ibu. Ibu segera
menghentikan tawanya dan menceritakan cowok berkacamata itu pada Tiara dan
Wina. Tiara tertegun mendengarnya. Rupanya cowok berkacamata yang selalu
mengikutinya itu adalah orang gila. Dia gila karena gagal menikah dengan cewek
yang di sukainya. Semua cewek yang dilihatnya pasti akan diikutinya dan di
paksa menikah dengannya.
Wina
tak kuasa menahan tawanya. “Jadi selama ini yang ngikutin kamu itu ternyata
orang gila,” ucap Wina lalu kembali tertawa.
“Seharusnya
kamu memberi tahu Ibu, Tiara. Jadi Ibu bisa meminta Ayah untuk antar jemput
sekolah,” ucap ibu menahan tawa.
Wajah Tiara seketika
memerah karena menahan malu. Setidaknya mulai besok, ia tak akan bertemu lagi
dengan cowok berkacamata itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar