HUJAN TERAKHIR
Di
balik jendela kaca kamar, aku menatap butir-butir air hujan yang turun begitu
derasnya. Hujan membasahi setiap bunga yang tumbuh di pekarangan rumahku. Bunga-bunga
itu terlihat begitu segar, seakan bergembira karena bermandikan hujan. Aku
begitu menikmatinya. Sungguh pemandangan yang menyejukkan mata. Suara
butir-butir air hujan yang turun membuat pikiranku kembali ke masa lalu.
“Berjanjilah
padaku! Setiap hujan turun, kau akan selalu mengingatku!”
Kata-kata itu masih
tersimpan erat di memori ingatanku. Kata-kata yang terlontar langsung dari
bibir seorang cowok yang menjadi cinta pertamaku. Aku menepati janji itu.
setiap hujan turun, aku akan mengingatnya di mana pun aku berada. Dan karena
dialah, aku menyukai hujan.
***
Teddy
namanya. Seorang cowok tampan yang sangat menyukai hujan. Baginya, hujan itu
seperti cinta. Dia akan selalu kembali menurunkan butir-butir kasihnya demi
makhluk yang disayanginya. Memberinya kehidupan dan menjaganya.
Mungkin
ini terdengar aneh bagi orang lain. Tapi dia tak pernah memperdulikannya. Dia
tetap menyukai hujan bahkan tanpa ragu bermain hujan. Bagiku, dia seperti anak
kecil yang suka bermain hujan. Tapi lucunya, dia cowok pertama yang berhasil
membuatku jatuh cinta.
Di bawah payung biru, aku
perlahan mendekatinya. Dia hanya berdiri mematung, membiarkan dirinya basah
disiram hujan. Sorot matanya tampak berbeda saat menatapku, seperti menyiratkan
sesuatu yang sama sekali tak bisa ku baca.
“Aku mencintaimu.
Percayalah, hatiku akan slalu menjadi milikmu,” ucapnya seraya memegang tangan
kiriku.
Ucapannya membuatku tak tahu
harus bersikap apa. Wajahku seketika merona. Kata cinta yang sudah lama
kutunggu dari bibirnya.
“Berjanjilah padaku! Setiap
hujan turun, kau akan slalu mengingatku!” ucapnya kembali. Kedua matanya yang
biasanya selalu lembut berubah hampa.
Aku menatap bingung padanya.
Tak biasanya dia bersikap seperti itu. Entah kenapa aku merasa gelisah.
Perasaanku sama sekali tak enak tentangnya.
“Shila!” panggilnya agak
nyaring.
Aku tersadar dari lamunanku.
Suara hujan yang turun dengan derasnya membuat suaranya tak begitu terdengar di
telingaku. “Kenapa, Ted?”
“Shila, berjanjilah padaku!
Kau akan slalu mengingatku saat hujan turun!” ucapnya memohon padaku.
“Kenapa kau bilang seperti
itu? Apa kau akan pergi jauh dariku?” tanyaku bingung dengan sikapnya.
Teddy terdiam. Aku bisa
melihat sorot matanya yang kini berubah sedih. Dia menghembuskan napas berat
lalu berkata padaku, “Aku hanya ingin kau selalu memikirkanku saat hujan.
Setiap tetes hujan yang menjadi saksi akan rasa cinta yang selama ini aku
rasakan padamu. Aku mencintaimu, Shila. Cintaku akan selalu berada di hatimu,
seperti hujan yang selalu kembali turun ke tanah.”
Aku tersenyum senang
mendengarnya. Aku pun berjanji padanya akan selalu mengingatnya saat hujan
turun. Tapi hati ini merasa semakin tak karuan, seperti mendapat firasat buruk
tentangnya.
***
Sudah
sebulan ini aku tak melihat Teddy. Semua sms yang kukirim padanya, tak ada satu
pun yang dibalas. Biasanya setiap kali kutelepon dirinya, panggilanku selalu di
terima tapi tak terdengar sama sekali suaranya. Tapi akhir-akhir ini nomor
teleponnya tak pernah aktif. Aku semakin gelisah. Firasatku benar-benar buruk
tentang Teddy. Aku bertanya pada semua teman-temanmu, tapi tak ada satu pun
yang tau keberadaanmu. Aku pun mencoba mencari ke rumahnya. Rumah itu terlihat
kosong tak berpenghuni.
Teddy seperti menghilang di
telan bumi. Aku benar-benar merindukannya. Aku sudah mencarinya ke mana-mana,
tapi tak terlihat sedikit pun tanda-tanda keberadaannya. Tiba-tiba aku teringat
pada janji yang kulakukan saat itu. Apakah janji itu adalah kalimat terakhir
darinya? Apakah Teddy meninggalkanku? Pikirku resah. Aku segera menepis pikiran
itu dan membuangnya jauh-jauh dari otakku.
Aku berjalan pelan
menelusuri taman, tempat di mana aku dan Teddy sering menghabiskan waktu
bersama dengan hujan. Kedua bola mataku tiba-tiba menangkap sosok yang terlihat
tak asing lagi bagiku. Kedua mata kami pun bertemu. Sosok wanita paruh baya itu
lalu menghampiriku.
“Shila,
sudah lama nggak ketemu. Kamu semakin cantik aja. Bagaimana kabarmu?” sapa
wanita paruh baya itu kepadaku.
“Alhamdulillah, baik. Tante,
aku mau tanya sesuatu sama Tante,” tanyaku tanpa basa-basi.
“Emangnya kamu mau tanya
apa?” tanyanya bingung.
“Teddy ada di mana sekarang,
Tan? Semua sms dariku tak pernah dibalas. Teleponku juga nggak pernah diangkat
sekarang. Aku ke rumah Tante, tapi rumah Tante selalu kosong. Aku benar-benar
khawatir sama Teddy, Tan. Perasaanku sama sekali nggak enak tentangnya,”
ungkapku akhirnya.
Wanita paruh baya itu yang
tak lain adalah mamanya Teddy tiba-tiba menatap sedih ke arahku. Dia lalu
mengeluarkan sepucuk surat dari dalam tasnya dan menyerahkannya padaku.
“Surat apa ini, Tan?” tanyaku
seraya menerimanya dengan ragu.
“Bukalah! Itu surat dari
Teddy. Maaf, Tante baru
bisa menyerahkannya sekarang padamu.”
Aku pun segera membuka surat
itu. Tiap baris tulisan yang kukenal terpampang dalam kertas putih di
hadapanku.
“Shila, aku selalu
mencintaimu. Bersama hujan turun, jiwaku akan selalu berada di sisimu. Maafkan
aku yang tak pernah jujur akan kondisi diriku. Aku tak ingin melihat air
matamu. Aku juga tak ingin kau memperlakukanku berbeda. Selama ini aku
menderita leukimia. Aku sekarat. Tak ada orang lain yang tau tentang kondisiku
selain keluargaku. Sudah cukup aku lihat kesedihan dari keluargaku. Aku tak
ingin orang lain bersedih karenaku, terutama kamu, Shilaku sayang. Bila kau
membaca surat ini, itu berarti aku telah pergi jauh meninggalkanmu selamanya.
Jangan pernah menangis untukku! Ingatlah pada janjimu padaku! Percayalah,
walaupun ragaku telah terkubur, jiwaku akan datang ketika kau memikirkanku saat
hujan. Lanjutkanlah hidupmu! Aku hanya ingin melihatmu bahagia.”
Aku terdiam. Air mataku
seketika mengalir di pipi. Tanganku
gemetar memegang surat di tanganku. Hujan tiba-tiba turu dengan derasnya. Mama
Teddy mengajakku berteduh, tapi aku hanya berdiri mematung. Air mataku kini tak
terlihat lagi, terhapus oleh tetes-tetes hujan yang turun. Kubiarkan diriku
basah kuyup, berharap dia tahu betapa sedih dan kecewanya aku saat ini.
***
Aku masih asyik menatap
hujan yang turun. Seperti janjiku padanya dulu, aku selalu memikirkannya setiap
hujan turun. Seperti perkataannya dalam surat, aku melanjutkan hidupku. Aku
bertemu dengan seorang pria yang juga menyukai hujan. Aku menikah dengannya dan
di karuniai seorang anak yang sangat tampan. Sama seperti ayahnya dan Teddy,
anakku juga menyukai hujan. Dia bahkan tak ragu bermain dengan hujan. Aku
menamainya sama denganmu. Teddy, cinta pertamaku.