Aku
sangat menyukainya. Setiap kali aku melihatnya datang ke rumah, jantung ini
rasanya berdebar-debar. Sayangnya perasaan ini tak sama dengannya. Dia telah
memilih gadis lain. Gadis yang sangat cantik dan lembut hatinya. Helena
namanya, gadis yang berhasil membuat Victor jatuh cinta. Hatiku rasanya sakit
seperti teriris-iris pisau. Tapi aku lebih memilih menyerah daripada
memperjuangkan perasaan ini. Aku menyerah demi kebahagiaan Helena, kakakku
sendiri. Aku tak mau merusak senyumannya yang begitu hangat. Hanya dia, orang
yang paling berharga selain kedua orang tuaku.
Malam
minggu kali ini terasa begitu sunyi. Bintang-bintang pun enggan menampakkan
dirinya di langit yang gelap. Biasanya setiap malam minggu Kak Helena pergi
bersama Victor pacarnya. Tapi sepertinya hal itu tidak berlaku padanya untuk
malam ini. Kak Helena lebih memilih menonton televisi di ruang tengah sambil
makan beberapa camilan. Terdengar suara tawanya yang memecah kesunyian rumah
yang memang hanya ada aku dan Kak Helena saja. Kedua orang tua kami sedang
sibuk-sibuknya bekerja di luar kota.
Aku
duduk di atas kasurku yang empuk, melakukan kegiatan yang biasanya kulakukan
setiap menjelang tidur. Membaca novel menjadi pilihanku untuk mengantarkanku ke
alam mimpi. Kututup mataku, pikiranku melayang-layang membayangkan diriku
menjadi tokoh utama dalam novel yang kubaca. Aku senyum-senyum sendiri,
perasaanku sangat senang. Tiba-tiba saja sosok Victor hadir dalam lamunanku.
Aku langsung membuka mata, membuang jauh-jauh bayangan Victor dari dalam
kepalaku. Aku menghela napas panjang. Sulit sekali melupakanmu Victor, keluhku
dalam hati.
Aku
menandai halaman novel yang belum kubaca, kemudian menutup novel itu dan
meletakkannya di atas meja sebelah kasurku. Aku lalu mempertajam indera
pendengaranku. Tak kudengar lagi suara tawa kakakku ataupun volume televisi
yang sejak tadi terdengar hingga ke kamarku. Aku melirik jam yang tertempel
pada dinding kamarku. Jam baru menunjukkan 21.30, tak biasanya rumah begitu
sepi. Tak seperti biasanya Kak Helena tidur di jam-jam segini. Aku pun beranjak
dari tempat tidurku untuk memastikan apakah Kak Helena benar-benar sudah tidur
di kamarnya.
Aku tak menemukan Kak Helena
sama sekali di kamarnya. Aku pun berjalan menelusuri setiap ruangan yang ada di
dalam rumah.
“Kakak!” teriakku
sekencang-kencangnya.
Tak kudengar sama sekali
suara kak Helena. Aku langsung merogoh saku celanaku. Kuambil ponsel dan mencoba
menelponnya. Lagi-lagi aku bingung dibuatnya. Tak biasanya Kak Helena tak menjawab
telepon dariku. Tiba-tiba firasat buruk hinggap di kepalaku. Perasaanku
kini gelisah dan juga takut.
***
BRAK!
Aku
sangat terkejut. Ku edarkan pandanganku disekitar tempatku berdiri, tapi tak
ada siapa-siapa di sana. Aku mulai takut, pikiranku pun mulai menduga-duga. Aku
langsung menepis pikiranku yang mulai mengada-ngada. Kumantapkan pikiranku dan melangkah
mencari asal suara itu.
BRAK!
Suara
itu lagi. Kali ini suara itu berhasil membuat jantungku berdebar kencang.
Keberanian yang sudah ku kumpulkan hilang dalam sekejap. Aku mencoba
mengumpulkan keberanianku lagi. Kutarik napas dan membuangnya perlahan.
Pikiranku sedikit tenang. Aku pun kembali jalan mencari asal suara itu.
BRAK!
Langkah
kakiku kembali berhenti. Kali ini suara itu terdengar sangat jelas. Terlihat
pintu dapur terbuka lebar. Aku melangkah masuk ke dapur, berharap Kak Helena
ada di sana. Lagi-lagi aku tak menemukan sosok Kak Helena di sana. Aku mulai putus asa mencarinya. Suara itu pun tak
terdengar lagi. Entah kenapa suasana dapur kini terasa begitu menyeramkan. Aku
bergindik ngeri.
***
Sebuah suara tiba-tiba
terdengar dari arah lemari makanan. Dengan jantung yang semakin berdebar, aku
mendekati lemari makanan itu dan kubuka dengan pelan. Aku terperangah, mataku
tak berkedip sama sekali. Kak Helena yang sejak tadi kucari ternyata berada di
dalam lemari makanan dengan kaki dan tangannya yang terikat serta mulut yang tertutup kain. Cepat-cepat kulepaskan
ikatannya dan menariknya keluar.
“Alena, cepat telpon
polisi!” ucap Kak Helena panik.
“Emangnya ada apa Kak?
Kenapa Kakak bisa ada di dalam lemari makanan?” tanyaku bingung sembari
mengambil ponsel di saku celana.
“Ada maling di rumah kita.
Cepat telpon polisi!” pinta Kak Helena sembari berjaga-jaga. Matanya terus
menerawang di sekitar tempatku berdiri. Secepat kilat tangannya mengambil sapu.
Aku langsung menelpon
polisi. Dengan
mengendap-endap, aku dan Kak Helena beranjak keluar dari dapur. Sayangnya langkah kaki kami terpaksa berhenti. Seorang
pria kini berdiri tepat dihadapan kami. Aku dan Kak Helena perlahan mundur ke
belakang. Aku dan Kak Helena tak dapat melihat wajahnya karena dia menggunakan
topi yang hampir menutupi matanya dan masker penutup mulut. Tapi anehnya aku
seperti mengenal sosok pria yang sedang mengancam nyawa kami sekarang. Kak
Helena mengayunkan sapu yang di bawanya ke pria itu. Pria itu dengan sigap
menangkis sapu yang diayunkan Kak Helena dan mendorongnya hingga jatuh. Melihat
Kak Helena terjatuh, aku tak terima. Dengan perasaan marah yang menggebu-gebu,
aku berlari cepet ke arahnya dan mencakar wajahnya seperti monyet. Dia lalu
membantingku. Aku terjatuh, kepalaku mengenai meja makan. Darah kini mengalir
di kepalaku. Kepalaku terasa sakit dan juga pusing, tapi kutahan demi Kak
Helena.
“Dasar gadis gila!” ucap
pria itu marah. Dengan perlahan-lahan
dia berjalan mendekatiku yang terduduk di lantai. Aku sangat ketakutan dan
perlahan mundur. Aku terpojok. Pria itu semakin dekat denganku. Kak Helena
tiba-tiba berdiri di hadapanku.
“Jangan macam-macam!
Sebaiknya kamu pergi sebelum polisi datang menangkapmu,” ucap Kak Helena.
“Sebelum aku ditangkap, aku
akan membunuh kalian berdua dulu,” ucap pria itu. Dia menggenggam tangan Kak
Helena dengan kasar dan menamparnya.
“Hentikan! Kumohon
hentikan!” ucapku menangis.
“Aku tidak akan melepaskan
kalian. Kalian akan mati malam ini,” ucap pria itu tertawa.
Aku
terdiam. Suara pria itu tampak tak asing bagiku. Dia masih menampar Kak Helena
dan tanpa malu menjambak rambut Kak Helena. Aku tidak bisa berdiam diri. Dengan
menahan rasa sakit di kepala, aku bangkit dan berusaha menolong Kak Helena. Aku
didorong olehnya hingga terjatuh. Begitu pula Kak Helena yang berusaha membantuku.
Tapi untungnya usahaku tadi tak sia-sia. Aku berhasil membuat pipinya berdarah.
Kak Helena pun berhasil melepaskan masker penutup mulut pria itu.
“Victor!”
ucapku dan Kak Helena terkejut.
“Ya
sayang. Ini aku, Victor pacar kesayanganmu,” ucap Victor dengan seringainya
yang mengerikan.
“Kenapa
kau lakukan ini? Selama ini aku percaya sama kamu, tapi apa yang kamu lakukan
sekarang?” ucap Kak Helena marah.
Victor
lalu jongkok dan menatap wajah kami dengan tatapannya yang meremehkan. “Kalian kan anak orang kaya. Bila kuambil sedikit
harta kalian, kalian tidak akan miskin bukan.”
“Bukankah kau menyukai Kak
Helena. Seharusnya kau tidak melakukan ini pada Kak Helena,” ucapku marah.
“Aku suka sama Kakakmu? Asal
kamu tau saja, sejak awal aku hanya memanfaatkan Kakakmu yang sok cantik ini
untuk masuk ke rumah ini,” ucap Victor sembari mengelus-elus wajah Kak Helena
yang tampak merah.
“Keterlaluan kau Victor! Aku
benci sama kamu!” Kak Helena lalu menampar wajah Victor.
Aku merasa kasihan kepada
kak Helena. Ternyata selama ini orang yang disukainya hanya memanfaatkannya
saja. Bila diingat-ingat, aku merasa kasihan pada diriku sendiri. Selama ini bisa-bisanya
aku menyukai orang jahat seperti Victor.
Victor bangkit lalu
mengambil pisau dapur yang tergeletak di atas meja. “Matilah kalian berdua!”
Victor mengarahkan pisau dapur ke arah kami.
Aku dan Kak Helena langsung
berdiri. Kami terpojok, tak dapat melarikan diri sama sekali. Kak Helena
langsung berdiri tepat di hadapanku.
“Victor, hentikan! Kau boleh
ambil apapun di rumah ini. Kau juga boleh melakukan apapun padaku, asal lepaskan
adikku sekarang,” ucap Kak Helena. Matanya mulai meneteskan air mata.
“Kalian berdua memang payah.
Adikmu suka padaku, tapi dia rela melihatku bersamamu. Sedangkan kau rela mati
untuknya. Tapi sayangnya malam ini kalian harus mati di tanganku,” ucap Victor tertawa
sembari memainkan pisaunya.
Victor mendekat dengan
menggenggam pisau dapur. Kak Helena sama sekali
bergeming. Pisau dapur dengan cepat di arahkan kepada Kak Helena. Aku
langsung mendorong Kak Helena. Pisau dapur yang digenggam Victor kini bersarang
di perutku. Dengan tenaga yang kumiliki, aku mencabut pisau yang ada di perutku
dan menusuk bahu Victor. Victor berteriak kesakitan, sedangkan aku terduduk tak
bertenaga di lantai. Kak Helena menopang tubuhku yang lemah agar tak jatuh. Dia
membelai rambutku dan menangis sejadi-jadinya.
“Berhentilah menangis! Aku
nggak suka melihat Kakak menangis,” ucapku dengan lemah.
“Maafkan Kakak! Kalau saja
Kakak tau kalau Victor itu jahat, Kakak nggak akan termakan rayuannya. Kamu juga
nggak akan seperti ini sekarang. Semua salah Kakak,” ucap Kak Helena sembari
menghapus air matanya.
“Jangan menyalahkan diri
sendiri! Aku juga salah karena dulu aku juga menyukainya,” aku tersenyum kecut
pada Kak Helena.
“Bertahanlah! Sebentar lagi
polisi tiba.”
“Kau gadis gila!
Berani-beraninya kau menusukku,” ucap Victor bangkit. Dengan
tertatih-tatih Victor mendekat.
Polisi
tiba pada waktu yang tepat. Victor langsung ditangkap dan diseret keluar
layaknya hewan. Kak Helena masih menangis melihatku. Aku merasa sedih melihat Kak
Helena seperti itu. Semakin lama pandanganku semakin kabur, hingga akhirnya
yang terlihat hanya kegelapan saja. Sebelum aku tak sadarkan diri, aku
mendengar Kak Helena berteriak memanggil namaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar